Mengenai Saya

Senin, 21 Februari 2011

ZAidi 3

Wajah Zaidi muram temaram. Tengkuknya ditekuk rapat-rapat. Tubuhnya menggigil kedinginan. Sekujur tubuhnya ngilu. Terasa putus persendian. Suhu tubuhnya membubung tinggi ke angkasa. Panas bak air mendidih yang sedah direbus.

“Kamu sakit Di?” Wajah Zaidi memucat pasi.
“Saya belikan obat ya” sergah teman proyeknya. Lalu temannya itu, Parjan, dengan sigap dan tanggap beranjak dari tempat duduknya. Berjalan melewati kayu-kayu yang menumpuk pengap dan keluar mencari warung yang sekiranya jualan obat panas.

Badan Zaidi makin payah. Kini dia makin menggelinjang hebat. Kain-kain tebal ia sumpalkan disekujur tubuhnya. Berusaha membikin tubuhnya sehangat mungkin. Seandainya masuk kompor pun bias meredakan suasana pastilah akan ia lakukan.

“Tenang. Tenang kawan. Obat segera datang. Minum dua pasti langsuang reda.” Tambah Bejo yang sudah panic. Dadanya memantul-mantul. Air keringat bercucuran. Takut kawannya kenapa-kenapa.

“Jo, antarkan aku pulang,” Gumam Zaidi lirih hingga menambah getir suasana. “Mungkin aku akan sembuh jika pulang Jo. Tadi malam aku mimpi ketemu bapak Jo. Katanya dia mau mengajakku pergi naik dokar.” Zaidi tampak setengah sadar waktu melantunkan kata-katanya tadi. Bejo makin panic bukan kepalang. Dia tak bias berpikir jernih lagi. Dipapahnya tubuh kurus temannya itu. Hendak dia antarkan ke rumah. Lalu seketika itu juga datang Parjan yang sudah menggenggam sebungkus plastic berisi obat penurun panas. Karena tidak etis menyebutkan merk, maka tidak aku tulis di sini kawan.

“Eit..eit..eit..mau dibawa ke mana?”
“mau tak bawa ke rumahnya Jan”
“Loh-loh, mbok ya dikasih minum obat dulu toh Jo. Ini makanan jug awes tak tukokke (tak beliin)”
“Abis kamunya suwi tenan tuku obate, tukune neng Jakarta tah?” Tanya Bejo sedikit ketus.
“Lah dapur mu kuwi, aku tuku obate adoh Jo”, sedikit menyalahkan Bejo yang Cuma bias panic itu.
“Wes lah ndang cepet. Buruan kita kasih minum obat”

Dengan cekatan mereka memberi minum obat. Sebelumnya menyuapi Zaidi yang sudah tak berdaya lagi menggerakan tangan karena sakit panas akut. Tubuhnya yang remuk redam tak ubahnya batang kayu yang kaku-kaku. Sangat memprihatinkan kondisinya itu. Anak sekecil ini harus sudah menanggung beban yang sangat amat. Ini semua terjadi karena Zaidi sering puasa. Selain karena minimnya upah yang tersisa untuk hanya sekedar menganjal perut kerempengnya itu, Zaidi memang ingin berazzam puasa Daud. Sungguh pilihan amat sulit.

Setelah obat diminum, panas di tubuh Zaidi tak kunjung reda. Jika kawan memasukkan thermometer raksa, yang sering ditenteng para dokter, maka engkau akan tercekat. 40 derajat Celcius. Saya ulangi lagi. 40. Karena mereka berdua habis akal, mereka lapor kepada sang mandor.

“Pak, pak, pak” Bejo menata sikap bicaranaya, nafasnya tersengal-sengal. “Zaidi pak, Zaidi sakit. Badannya menggigil hebat.” Dan seketika itu juga pak mandor bernajak dari kursi malasnya dan mendapati ZAidi dalam kondisi memprihatinkan dia merasa iba.

“Cepat kita bawa ke mantra, cepat”
“iya pak, iya”

Sekonyong-konyong mereka memapah tubuh Zaidi. Mengantarkannya ke mantra Zuwari. Tergopoh-gopoh mereka memapah. Buka Karen atidak kuat tapi karena panic bercampur takut.

*tunggu kisah selanjutnya*

Kisah anak yang dikutuk menjadi seekor semut

Kisah anak yang dikutuk menjadi seekor semut

Ini adalah kisah antara Clarissa, anak yang nakal namun segera berubah karena kutukan dari sang ibu. Begini ceritanya. Pada suatu kisah, Clarissa mencuri uang ibunya. Padahal itu untuk keperluan sehari-hari. Maka tatkala Clarissa baru datang, selepas bermain-main dengan kawannya. Dia bertemu sang ibu yang saat itu wajahnya sedang bersungut-sungut.
"Dasar anak durhaka", Clarissa terpaku, "perilakumu tak lebih baik dari seekor semut". Ibu Clarissa naik pitam. Melihat anaknya tak acuk akan perkataannya. Maka saat itu juga dia lebih rela anaknya jadi semut agar sadar betul apa yang telah diperbuatnya.
Lalu sejurus kemudian, tubuh Clarissa menciut seperti liliput. Semakin mengerdil, berangsur-angsur berubah jadi. Kini dia hilang dalam sekejab. Mamanya yang masih marah tidak begitu peduli. Setelah beberapa saat, dia sadar bahwa anaknya benar-benar raib dan berubah jadi semut. Dan sekarang pergi entah ke mana.
#####
Clarissa berjalan sempoyongan. Tubuhnya kini berubah jadi hewan serangga yang mungil dan merah menyala. Berantena panjang menjuntai-juntai. Tubuh yang berbuku-buku merah menyala. Kaki-kaki yang kuat dan liat.
"Oh Tuhan, malangnya nasib ku" Clarissa menyesal. "Apakah yang harus saya lakukan untuk menebus kesalahan ku ini?". Lalu, Clarissa berjalan merayap ke sebuah pohon waru. Mengendus-endus. Mengendap-endap seperti bajing yang hendak mencuri kelapa dari manggarnya. Pohon waru itu menariknya untuk datang. Dia melihat kawanan semut merah, yang kini sejenis dengan dirinya, tampak lalu lalang.
"Hai kawan, siapa namamu", tanya semut yang baru ditemuinya. Melihat Clarissa tamapk membisu dalam sekejab dia menambahkan, “perkenalkan, Sinta”, sambil mejulurkan tangan ke arah tamu barunya. Clarissa tampak asing di situ. "Aku di mana?, kamu bisa bicara juga?", Clarissa tampak heran. Dilihatnya sekeliling. Dia kagum bukan kepalang. Dia kagum akan peradaban semut. Mereka ternyata mampu menyulap daun-daun, ranting-ranting dan dahan menjadi bangunan-banguna rumah yang apik. Sebuah bukti dari kuasa Tuhan.
Kini dia tahu kehebatan dari bangsa semut. Mereka terkenal rajin dan tekun. Setiap saat mereka berjalan jauh hanya demi membawa remahan roti, atau daun-daun yang telah dipotong dengan gerigi mereka. Dia sadar selama ini dia enggan sekali membantu pekerjaan ibunya. Bahkan tidak jarang uang ibunya sering raib karenanya. Hanya demi membeli mainan baru atau hal-hal tidak berfaedah.
Clarissa masih tampak kikuk. Dia berjalan terbata-bata. Sesekali kakinya gemericik tanda gusar membelenggunya.
"Kenapa kamu bisa sampai sini". Sinta melihat dengan seksama dari ujung kepala sampai ujung kaki. Belum pernah dia jumpai semut seperti Clarissa sebelumnya.
"Aku ini manusia, dan entah mengapa aku berubah jadi sperti ini", Clarissa mengatur nafas. Terbata-bata irama degup jantungnya. "Lalu?” tanya Sinta penasaran. "Aku tahu, kamu pasti melakukan sebuah kesalahan fatal,” Sinta melentikkan jemarinya. "Be...be…nar", sambut Clarissa. "Kalau begitu kamu tinggal di sini saja", lanjut Sinta. "Ta..ta..pi…,” Clarissa ragu, “Harus sampai kapan?", kini wajahnya lusuh.
"Sampai kutukannya hilang", Santi menepuk pundak Clarissa, dia menjadi lebih akrab. “Jika kamu dapat mengubah sifat buruk mu, kamu akan segera kembali seperti semula,” Sinta sangat yakin.
Setelah itu hari berganti hari. Hari-hari Clarissa dihabiskan bersama teman-teman barunya. Dia tampak menikmati rasa kekeluargaan yang tumbuh di koloni itu. Mereka sering main petak umpet ala semut. Saling berkejar-kejaran. Mencari dahan untuk dijadikan rumah-rumahan. Mencari gula, ranting, remahan roti untuk sekedar dijadikan kudapan. Clarissa pun jadi rajin, tekun dan suka membantu kawannya.
Hari-harinya tampak begitu indah.
Hingga ia sadar harus sampai kapan ini dilakukannya. Clarissa mulai rindu dengan ibunya. Bagaimana keadaan orang yang paling dicintainya itu.
Lalu di lain tempat, ibunya tampak sedih. Air matanya bercucuran. Dia tampak menyesal. Kini hanya bias berharap anaknya kembali utuh ke wujud manusia. Dilihatnya lekat-lekat seekor semut yang sedang merayap di ujung tangannya. Entah sejak kapan semut merah menyala itu ada di sana.
Lalu doa-doa dirapalkan. Komat-kamit mulut sang ibu meninggikan harapan. Dia sangat berharap anaknya kembali. Dengan ikhlas sang ibu berdoa. Matanya terpejam. Lalu seketika itu juga sang semut tadi berubah menjadi Clarissa seutuhnya. Ketika matanya terbuka dilihatnya wajah anaknya berbinar-binar. Senyum manis tersungging. Menyimpul syahdu dengan balutan linangan air mata yang sempat luruh. Mereka saling berpelukkan. Saling melepas rindu yang mendalam.

Sabtu, 19 Februari 2011

Nina dan sahabat dolphin

Pagi itu hari masih cerah. Matahari masih belum terik. Nina, gadis kecil yang bertubuh mungil, tampak gusar sekali. Ia tahu kalau hari masih pagi buta. Tapi ia sudah tidak sabar ingin diajak oleh ayahnya, Mulyadi, pergi ke pasar malam. Kegiatan yang paling ia gemari adalah naik komedi putar, beli balon, dan beli gulali. Nina berharap hari segera petang. Matahari beranjak dari garis edarnya. Berganti dengan malam yang penuh bintang.



Hari itu, ayah Nina tahu kalau hari itu adalah hari yang paling berbahagia bagi putrinya. Dia tahu betul apa yang harus dilakukan untuk menyenangkan hati belahan jiwanya. Mengajak Nina ke pasar malam sudah sperti ritual wajib.



"putri ku, usahlah kau gudar, ayah pasti akan membelikanmu hadiah yang bagus nanti malam", ayah Nina berusaha menenangkan putrinya.

"benar ayah?", senyum tersungging dari bibir Nina.

Ayah Nina tersenyum.

"Jadi kita nanti beli balon kan yah, trus naik komedi putar, trus beli gulali, trus...", tampak secarik kertas berisi catatan semacam daftar belanjaan dikeluarkan Nina dari sakunya.

"Iya, tapi ayah berangkat dulu ya, hari sudah siang", sambil mengecup kening Nina lalu mengambil sepeda, berangkat.



Nina melambaikan tangan kepada ayahnya. Tampak girang sekali dia. Senyum-senyum sendiri. Sesekali menari-nari, tanda hilang segala gundah. Dilipatnya lagi secarik kertas tadi. Lalu dimasukkan ke saku bajunya. Dijaga jangan sampai catatan itu hilang.



@@@@@



Sepulang dari tempat kerja, Mulyadi sempat mampir di toko boneka. Melihat-lihat sebentar. Memilah-milah. Lalu membeli boneka dolphin warna biru. Gumamnya dalam hati, 'pasti Nina suka dengan hadiah ini. Dia kan sudah lama ingin punya boneka'.



Kemudian Mulyadi segera beranjak pergi. Menyusuri jalan setapak menuju rumahnya yang sangat jauh itu. Mungkin sekitar lima kilometer ia harus mengayuh sepedanya. Sambil memunggumi senja yang saat itu masih lekat di pelupuk mata. Dikayuhnya sepeda itu cepat-cepat. Sudah hampir setengah perjalana. Dia melewati padang ilalang yang membentang di sebelah kiri. Jalanan datar, berpasir campur debu, sesekali menikung. Di sebelah kanan tampak rumah jarang-jarang. Sedikit sekali dijumpai pohon rindang, hanya untuk sekedar berteduh.



Sejenak dia menyeka peluh yang sempat bercucuran. Diseka dengan sapu tangan. Lalu dikayuhnya lagi sepeda kencang-kencang. Mentari makin memucat. Pucat pasi. Makin redup seiring pandangan Mulyadi. Dan lalu tiba-tiba pandangan gelap gulita.



@@@@@



Hari sudah sangat petang. Oang yang dinanti-nati tak kunjung tiba. Nina tampak gelisah sangat. Dilihatnya jam dinding yang sedari tadi berdetak kencang.



"sebentar lagi ayahmu pulang, tengalah anakku"

"tapi bu, sudah jam segini tapi belum juga pulang"

"pasti ayahmu sedang lembur"

Sebelum perbincangan berlanjut. Ambulance datang. Bunyi sirine mendesir kencang. Memecah kesunyian petang itu. Nina dan ibunya tampak tegang campur was-was. Muncul perasaan tidak enak seketika itu juga.



Ambulance berhenti tepat di depan rumah Nina. Lalu, keluarlah seseorang berbaju putih menghampiri kediamannya.

"benarkah ini rumah bapak Mulyadi?', tanya orang itu.

"benar, ada apa memangnya?", sahut ibu Nina.

"maaf ibu, dengan berat hati saya harus mengatakan...", orang itu menelan ludah.

Nina diam terpaku. Ibunya mendengarkan seksama.

"ceritanya begini. Tadi ada sewaktu saya mengendarai mobil ada tubuh orang tergelepar di pinggir jalan. Ku hentikan mobil. Lalu aku angkat beliau. Tampak wajah lelaki yang tak lain adalah pak Mulyadi telah telah terbujur kaku. Saya minta orang lain yang lewat untuk mengangkat. Saya coba hubungi rumah sakit terdekat. Kami melaju kencang ke RSU. Tapi nyawa beliau sudah tak tertolong. Beliau kena serangan jantung mendadak..."

Nina masih terpaku. Mata ibunya telah berkaca-kaca.

"lalu saya berinisiatif mengantarkannya ke sini"

"Nina, ayahmu...", sambil berlari menuju ambulance.

Nina pun masih tak habis pikir.

"sabar ya bu, semoga ibu dan keluarga tabah", hibur orang tadi.



Setelah melihat jasad ayah yang tebujur kaku, Nina baru sadar. Kini, ayahnya telah tiada. Kenangan tentang pasar malam, komedi putar, naik sepeda bresama ayahnya berputar-putar di kepala. Membelenggu alam bawah sadarnya. Kini, hari yang semestinya jadi hari paling bahagia baginya berubah jadi hari paling pilu. Air mata tak dapat dibendung. Menggenangi sekujur pipi tembemnya. Senyum yang merekah tadi kini memudar seiring berita buruk yang dia hadapi di depan matanya.



@@@@



Sejak saat itu Nina jadi murung. Wajahnya muram. tak ceria seperti biasanya. Dia sering memeluk boneka dolphin, hadiah dari sang ayah. Boneka yang masih dipegang ayahnya erat sewaktu jatuh terkulai di pinggir jalan tempo lalu. Wajahnya yang cerah kini dibalut duka. Kata-kata tentang komedi putar masih melayang-layang.

"sudah lah cah ayu, kalau kamu sedih terus, ayahmu takan menyenangi hal ini", sambil menepuk pundak Nina, kakeknya berusaha menghiburnya.

"ayahmu pasti tenang di sana, di tempat yang paling mulia di sisi-Nya"

Nina masih membisu.

"Sekarang, kamu ganti baju, kita akan pergi ke pasara malam"

Nina beranjak dari duduknya.

"Benarkah itu kek?"

"iya benar, asal kamu tak boleh sedih lagi"

Secepat kilat Nina pergi ke kamar untuk ganti baju, memakai pakaian terbaiknya.

"kata ayah, aku tak boleh sedih, 'jika bersedih ayah takan mengajakku lagi naik komedi putar', begitulah kek"

Mereka lalu mengayuh sepeda menyusuri jalan terjal. Sedikit berliku. Melewati rumah-rumah tetangga.

"ayah..."

"iya anak ku"

"kau kembali?, jangan lupa belikan aku balon ya yah"

Bayang-bayang ayahnya muncul di hadapan Nina. Ia tidak tahu kalau itu kakenya. Mungkin karena saking senangnya ia lupa. Seketika itu juga ia kembali sadar. Itu hanya khayalannya saja.

Begitulah. Ketika mendengar kata-kata tentang komedi putar atau pasar malam, Nina sering bisa melihat wajah ayahnya, walau sekelebat.

Jumat, 18 Februari 2011

kisah anak kuli bangunan part 2

Malam ini langit bermuka durja. Muram temaram. Zaidi masih asyik ngaduk campuran semen, pasir, dan koral. Keringat yang tadi bercucuran kini telah kering. Langkahnya tampak gontai. Bahunya tampak membungkuk karena harus menanggung beban yang berat dari ember cor-coran. Sesekali disekanya peluh yang masih tersisa.

Kini dia duduk termangu di bawah pohon kersen. Sebentar melepas lelah. Memijit-memijit pundak sebentar. Sekilas dia menatap awan yang yang sedang murung itu. Suasana kelu. Linier dengan suasana hati pria yang bertubuh hitam legam karena sengatan matahari yang menyayat kulit. Hingga suasana itu pecah karena suara yang tidak ia sadari menghujam begitu deras.

"heh, bangun malas", teriak mandor Djamingin.

Dengan sigap Zaidi berdiri. Dia tergogop-gopoh melanjutkan pekerjaannya tadi yang sempat tertunda. Kembali mengambil adukan semen yang sempat dia diamkan tadi. Digenggamnya erat-erat gagang ember. Diantarkannya ke temen yang lain, tukang yang sedari tadi telah menunggu.

"hei bocah kalo mau dapet duit kerja yang becus, gak usah bengong mulu"

Zaidi membisu.

Tak ditimpali hujan kata-kata yang keluar dari sang mandor. Karena ia tahu akan fatal akibatnya. Dia hanya bisa bergumam dalam hati. Menyimpan gumamnya dalam hati. Hal ini harus ia lakukan. Demi mendapatkan upah yang tak seberapa. Demi menyambung hidupnya. Menyambung hidup adik-adiknya. Bahkan dengan peluh darah pun akan dia lakukan. Dia masih ingat betul kejadian kemaren sore itu. Saat itu dia didatangi Giyono, adek laki-lakinya yang masih duduk di bangku kelas satu SD. Ditemangi Hartiningrum, adek bungsunya, yang masih bergelayut di gendongan. Tampak isak tangis dari adek-adeknya Zaidi iba. Saat itu mereka lagi butuh uang. Demi menyabung hidup. Membayar uang SPP. dan kebutuhan pokok lainnya.

Zaidi berada pada posisi sulit. Upahnya baru dibayarkan seminggu lagi. Padalah baru beberapa hari adek-adeknya merajuk. Minta dibelikan buku. Tak tega melihat raut wajah mereka yang dibalut pilu itu diberanikan niatnya untuk pinjam uang kepada sang mandor. Sumpah serapah sempat mendarat dari mulut sang mandor. Walau akhirnya sedikit rasa tak tega dirogohnya lembaran uang dari sakunya.

"saya nge-bon dulu pak, bayaran minggu depan saya ambil sekarang"

"awas kalo dengan ini kau jadi malas-malasan"

"iya pak, disuruh lembur pun aku mau, asal beri saya uang. Ini demi keluargaku"

Giyono girang bukan kepalang. Meloncatlah dia hingga menyudul atap kayu di atasnya. Benjol dan memar kepalanya. Sedikit mengaduh. Tapi menjadi tak berasa karena hajatnya telah kesampaian. Ibunya Zaidi pun senang. Tampak senyum yang merekah. Simpul-simpul durja kini telah terurai dari wajah mereka. Lalu mereka pun pamit. Berjalan menjauhi Zaidi. Semakin jauh. Tampak langkah Giyono lebih ringan. Lalu mereka lenyap dari pandangan. Menjadi setitik debu.

Zaidi tahu. Uang yang digengamnya kini tak banyak. Cukup untuk beberapa hari saja. Dia tak tahu harus berbuat apa nanti. Mungkin dia akan puasa daud. Biar cukup uangnya untuk sepekan ke depan. Beginilah hari-harinya. Selepas dua bulan kematian ayahnya. Sesekali ia mengingat-ingat wajah ayahnya. Ia ingat petuah-petuahnya. Ia gengam kata itu dengan erat. Dia balut luka-lukanya akibat goresan kerikil dan batu. Dijadikan kisah saat hendak tidur atau saat dia tepekur diam. Dipanjatkannya doa tinggi-tinggi dalam tiap malamnya. Tiap sepertiga malam nan sejuk, pilu. Hingga kering air matanya bercucuran. Makin hening dengan lantunan bunyi Kalam Illahi yang menderu-deru. Menyusup tiap jengkal tanah di sekeliling bangunan, pohon, ranting-ranting hingga saling berkejaran dengan suara jangkrik yang menggebu-gebu.

****

Akhirnya jam lembur selesei juga. Pukul 22.00 waktu setempat. Alat-alat tukang dibasuh dan ditata rapi berjajar ditempatnya masing-masing. Setelah semua beres, masing-masing merebahkan punggung di bedeng sempit di area proyek. Tampak mereka saling berdesak-desakkan. Tak muat bedeng sekecil itu untuk menampung puluhan kuli. Alhasil ada yang selonjor di pelataran. Di bawah atap langit bermandikan bintang. Di dekat tumpukan kayu yang dinginnya menyayat seperti sembilu. Dan berbagai tempat yang sekiranya strategis untuk berteduh.

Semua kuli langsung merebahkan badan. Memejamkan mata karena penat dan letih telah menggelayut sedari tadi. Mengukir mimpi. Menyeberanginya hingga ke lautan ke tujuh. Tapi kecuali Zaidi yang saat itu masih terbelalak matanya. Entah karena apa dia masih belum juga tidur. Mungkin karena kejadian tempo hari yang masih membuatnya sulit untuk mengatupkan kedua mata.

Sambil menata letak gugusan bintang. Diacungkan lengan kanannya kuat-kuat ke atas. Digerak-gerakkanya hingga mungkin membentuk rasi bintang baru. Menjejali daftar rasi bintang terdahulu. Ada rasi bintang Biduk, bintang Pari, bintang Scorpion dan rupa-rupa jenis bintang. Dihitungnya satu-satu sambil komat-kamit mulutnya merapalkan kata-kata yang entah dihiriraukan temanya atau tidak. Satu, dua, tiga dan seterusnya. Lalu terpejamlah kedua matanya setelah sesaat sebelum menggumamkan doa, lirih. Suasana kembali hening. Hanya bunyi jangkrik dan hewan-hewan sawah yang bertalu-talu. Saling bersahut-sahutan. Mimpi, mimpi indahlah malam itu. Malam penuh nanar.

Kamis, 10 Februari 2011

Mainan mobil dari batu

Mainan mobil dari batu

Pagi yang megah baru saja bangun. Dari tidurnya yang pulas semalaman. Sahut-menyahut burung Parkit dari arah luar jendela sudah bisa ditebak. Semburat jingga telah menyambut tiap cucu dari kaum Adam. Tiap orang nampaknya sudah ada yang hilir mudik. Ada yang hanya sekedar menggerakan badan demi alasan kesehatan. Ada pula yang sibuk melihat jam tangan mereka sebagai tanda waktu telah menyeret mereka dalam lingkaran hidup yang mengikat erat.

Akan tetapi ada yang aneh dengan Pak Tarjo. Pagi-pagi buta ia sudah mengais-ais sampah dikomplek Perumahan di kelurahan Sendangguwo Baru, Semarang. Sudah sepagi itu ia membanting tulang. Itu tak lebih karena demi anak dan istri.

Ketika tanpa sengaja Pak Tarjo mengaduk-aduk timbunan sampah yang bau bukan main itu, ditemukan mainan mobil Tamiya yang masih cukup bagus. Segera dia jejalkan mainan itu ke karung yang sejak tadi ditenteng.

"ini pasti akan membuat Adi senang bukan kepalang", gumamnya dalam hati.

Sejurus berlalu. Angin mulai bertingkah, sesekali menggoda pepohonan yang rimbun. Semburat jingga kini menguning, cerah sekali, secerah raut wajah Pak Tarjo. Hari ini tampaknya anaknya satu-satunya itu akan merasa riang gembira.

******

Sampai di rumah. Adi mencium tangan ayahandanya.

"Selamat pagi ayahanda", raut muka Adi tersungging, melihat rona teduh sang ayah."tahu gak hari ini ayah bawa mainan baru buat ananda" senyum simpul sang ayah bergulung-gulung."wah bagus sekali ayahanda, dapat dari mana kah ini, elok nian mainan ini" tak sabar, Adi menyambut karung ayahnya.

Adi senang bukan kepalang. Dipeluknya erat-erat mainan mobil Tamiya. Warna merah menyala. Rodanya sudah tampang usang. Body sang mainan sudah tampak reot, tampak lusuh. Diseka tiap detail mainan baru itu dengan kain lap. Adi sangat gembira. Karena mobil itu akan menggantikan mainan lamanya. Batu-batu keras kepalang. Batu sering dia adu dengan batu, Adi anggap itu sebagai mobil layaknya mobil-mobilan yang biasa dimiliki anak seusianya.

Bisa diibaratkan Adi seperti baru saja mendapat undian berhadiah mobil baru, seperti yang biasa tampil di undian acara TV. Undian lotere yang hanya layak dimilki orang-orang berdasi.

*****

Ayah Adi, memang ayah yang hebat. Disulapnya mobil butut itu dengan sentuhan halus tangannya mobil bekas itu menjadi mobil Tamiya yang lincah bukan main. Kini mainan Adi itu begitu lincah, meliuk-liuk ditiap tikungan, meraung-raung bunyinya saat tancap gas. Gesit seperti tupai yang hinggap dari satu dahan kelapa ke dahan yang lain.

Akhirnya waktu kompetisi lomba tujuh belasan mulai digelar. Warga kampung itu selalu riuh dan antusias mengikuti tiap event tahunan yang meriah itu. Adi tak mau melewatkan kesempatan emas dihadapannya. Dengan mobil andalan barunya ini dia mengikuti kejuaraan.

Hari pelaksanaan lomba pun tiba. Semua peserta telah bersiap siaga di garda terdepan start. Ambil ancang-ancang. Hitungan tanda lomba telah dimulai. Bendera berkibar. Dan tancap gas. Bunyi desingan mesin mobil Tamiya sahut-menyahut. Saling salip bak balapan Formula Satu. Melewati tiap tikungan dengan mantap. Mengepakan sayap dengan gagah ketika lajur lurus. Meloncat. Melentik gagah. Dan Adi berhasil finish tecepat. Juara baru telah didapat. Menumbangkan juara bertahan Anto. Suara tepuk tangan membumbung tinggi, gegap gempita. Pak Tarjo bangga. Adi sujud tafakur.

*****

Piagam dan hadiah segera akan diberikan ketua panitia Pak Karmun, kepala desa Sendangguwo Baru. Tapi seketika riuh penoton pecah oleh suara Anto.

“Dasar pencuri”, sambil menunjuk Adi, Anto garang.

Adi tertegun. Linglung.

“dia yang telah mencuri mobil Tamiya merahku itu”, nada makin meninggi, “dasar anak pemulung, gembel”.

“maksudmu?”, sergah pak Karmun.

“kalau tidak percaya coba tanyakan anak gembel itu”, tuduhnya keji.

“benarkah itu, Adi?” Tanya pak Karmun sambil melihat reaksi Adi yang pucat pasi.

“benar ini bukan mobilku, ayahku menemukannya ditumpukan sampah depan rumah Anto”, pahit rasanya menelan pil kejujuran.

“kalau begitu kemenangannya tak sah”, Anto naik pitam.

Karena Anto tak lain tak bukan anaknya pak Karmun, anak kepala desa itu tanpa berunding dengan panitia lain dia menganulir kemengan Adi. Piagam dan perhargaan yang sudah didepan mata raib. Ditelikung oleh pejabat tanpa kompromi. Sebenarnya pak Tarjo ingin berdalih, menyampaikan pembelaan. Asal muasal cerita kenapa mobil itu bias berada dipangkuannya. Tapi melihat keangkuhan pak Karmun diurungkan niatnya itu. Karena akan percuma saja. Alasan paling masuk akal pun akan mental. Ditolaknya mentah-mentah.

Pak Tarjo mendekati Adi. Lirih diucapkannya ke telinga anak kesayangannya itu.

“tak usah kau risaukan ananda, kau layak juara, aku bangga padamu”, hibur sang ayah.

“tapi aku kalah ayahanda, aku kalah, tampaknya aku akan kembali dengan batu-batu itu, itulah mainanku dulu”, Adi masih bembisu di depa podium.

******

Sedikit cerita, waktu setahun lalu Adi minta dibelikan mobil Tamiya seperti kawannya. Adi sempat ngambek tidak mau makan semalaman. Karena ayahnya tak mampu membelinya walaupun harus mengais-ais sampah sebulan penuh. Untuk makan saja masih pinjam sana-sini. Hati ayah Adi kelu. Perih seperti teriris sembilu. Sudah lama Adi menginginkan mainan baru. Hal ini karena batu-batu yang biasa dibuat layaknya mobil yang mendesir-desir telah dibuang Anto karena merasa iri.

Begitulah kisahnya. Pak Tarjo berusaha menghibur Adi yang tampaknya telah melinangkan air mata. Memeluknya erat dan mengajaknya pulang dengan sepeda reotnya. Pergi meninggalkan kerumunan. Hadirin merasa kasihan tapi hanya pasrah.


Adi dan ayahnya berjalan menyusi jalan sempit menuju danau. Tempat biasa Adi diajak bila dia sedah sedih atau hanya sekedar melepas beban derita keluar miskin itu. Keluarga miskin ditengah kepungan gedung-gedung pongah itu.


Nasib sebagai anak pemulung tak dapat ditolaknya. Karena swaktu kita lahir takkan mungkin bias memilih orang tua kita. Pak Tarjo adalah bagian dari skenario culas para Politisi negeri ini.


Selasa, 08 Februari 2011

adek cabut gigi

Jenny Rossita. Itu nama adek gue. Mungil orangnya. Cantik, imut, lincah, cute abis dah pokoknya kayak kakaknya ini.
Kisah ini sebenarnya udah lama banget. Tapi gpp lah iseng2 berhadiah. Waktu ntu pada zaman pra sejarah, zaman ketika manusia masih berburu dan meramu dalam mencari nafkah (emang mau bikin cerita horor???).
Serius dunk Gir!!!
Saat itu langit cerah. Tidak ada ada timbul gejala langit akan rubuh (baca:hujan). Angin semilir banget. Spoi2 gitu deh. Adek gw "Jenny anak manis semanis kakaknya" tiba menggelinjang, meraung-raung kayak ayam mau disunat gitu (emang ada yah).
"maeeeee untune (baca:gigi) Jenny atiiiiiiit" teriak Jenny sehabis bangun dari tidur panjang setelah ratusan tahun tidur.
"adek kenapa?" ibu mulai gusar, "cabut gigi yah" bujug ibu
"gak mauuuuuuu", "sakiiiiittttt" lari-lari sambil megangin gigi trus bawa sedotan. Eh gak dink.
"Gir, adek mu tuh anterin ke pak mantri(emang mo disunat? dokter gigi kaleeee)" ibu sambil lihat ke gue.
"hmmmm dmna buw?, aku gak thu loh tempatnya..." gue sambil liatin gigi Jenny yang berlubang. Tiga gigi bolong-bolong. Abis dimakan ulat bulu kayaknya.
Gw: adek mau yah cabut gigi?
Jenny: emoooooohhh
Gw: gak sakit koq, paling cuma kayak digigit semut
Jenny: tetep sakiiiit
Gw:*garuk-garuk pala*
Ibu: udah bawa aja
Jenny:*nangis sambil megangin gigi*
Tanpa pikir panjang gw ama ibu nyeret paksa dengan brutal kayak mau nganter kambing mau disembelih buat Qurban. Ya gak lah. Tega bener kita. gw ama ibu mbujuk dengan segala cara. Mulai dari beliin balon. boneka Barby. pulpen cantik. ato janji beliin es krim gitu deh.
Dan eng ing eng....
Jenny mau cabut gigi. Kali ini tanpa meraung-raung kayak singa yang mau kawin. eh itu kucing yah.
Taptaptaptap.
Langkah kaki sampai deket rumah dokter gigi deket rumah gw.
Pak dokter: loh cantik-cantik koq giginya bolong--> pak dokter pasang muka ramah
Ibu: iya neh kebanyakn maem pemen dok
Gw: hu uh, kebanyakan ngemut aspal goreng dok (yang ini bukan, emang lu kira adek gw gatot kaca, otot kawat balung wesi)
Tanpa pikir panjang pak dokter nyabut gigi adek dengan brutal. Tang, gergaji, palu, obenk, skop, bendrat, bor, semen (eh eh bentar2 emang adek gw mau dibikin rumah tingakt tiga yah).
Sebenarnya prosesnya gini. Pak dokter ambil suntikan. Nyuntik pipi kanan adek. Pipi kiri juga,jusssssssss. Kaga pake cipika cipiki loh. Walopun ada sedikit perlawanan adek. Gw pegang tangan adek. Ibu pegang tiang listrik (loh???). Lalu rupa-rupa alat dokter dikeluarin. Gw kaga tahu itu apa namanya. Yang jelas bukan alat2 yang gw sebut tadi.
Akhirnya operasi berjalan sukses. Adek nyengir. Giginya ompong tiga.Sekali lagi, ompong tiga. Dan spontan gw ketawa setan. Guling2. Menggelinjang. Koprol. Salto. Renang gaya kuda terbang sambil pegang tiang listrik.
Pesan moral: klo adek anda sakit gigi jangan dibawa ke mantri sunat. Karena itu gak bakal nyelesein masalah. Ya iya lah.

Senin, 07 Februari 2011

hello semua...
gimana kabarnya? semoga kalian baik-baik saja,entah lu di kutub sana, ato di alam bartzah sekalipun lu berada.
gue hari ini seneng bgt. soalnya gue td wkt meeting di kantor gue tumpahin unek2 gue. ya gue ngomong aje klo tim SMP kaga solid gt lah. Karena gue rasa ada yang terlalu mnonjol gt lah (idung, mata kaki, pokoknya semua yg mnonjool gt lah).
hmmmm sebenarnya gue dah mmendam hasrat lama (kayak ayam lagi birahi, ngeden) untuk numpahin ini. Gue kurang suka ama orang yang suka mentingin ndiri sndiri. Huh ngebetein bgt lah. Lu jg tahu kan klo ketemu orang kea gt.
Ambil pisau, di asah, siap2 ngiris bawang (adegan nangis hehehe gak dink).
*****
eh mgkin juga gue bete karena si "koi" kekasihhati gue lagi nyebelin banget. dia tuh udah ingkar janji. Katanya mau up load cerpen gitu pas tgl 31 jan kmrn. Pas hari H, eh eh eh,dia bilang dg muka tnpa dosa gt deh bilang maaf saya gak bs upload cerpen hari ini.
sumprittt gue kesel bgt lah. Padahal gue udah susah payah nyempetin waktu bwt bikin naskah cerpen kali. Dengan segenap tumpah darah gue (yang ini gak lah).
Akhirnya,singkat cerita gue diemin dy. Wlo sebenarnya gue menderita bgt. Gue kangen bgt ama keceriaan dy. Gue kangen saat dy manja ke gue. Gue kangen saat dy dkt bgt ke gue.
hmmmm now anyway gue brharap hub qt mbaik lagi kea dulu
*****
eh balik lagi ke meeting tadi. sumprit deh gue tadi sempat ketawa penuh kemenangan saat tmn gue sadar klo yg dy lakuin gak berprikehewanan(ya iya lah, dia kan manusia??).
semoga gue sanggup menjalani ini semua mpe bulan mei mendatang. Sebenernye gue udh kaga kuku de...hehehehe
wah seneng bgt hari lah hr ini pokoknya.
badan gue dah cenat-cenat neh (gak nyambung)
.....