Mengenai Saya

Jumat, 18 Februari 2011

kisah anak kuli bangunan part 2

Malam ini langit bermuka durja. Muram temaram. Zaidi masih asyik ngaduk campuran semen, pasir, dan koral. Keringat yang tadi bercucuran kini telah kering. Langkahnya tampak gontai. Bahunya tampak membungkuk karena harus menanggung beban yang berat dari ember cor-coran. Sesekali disekanya peluh yang masih tersisa.

Kini dia duduk termangu di bawah pohon kersen. Sebentar melepas lelah. Memijit-memijit pundak sebentar. Sekilas dia menatap awan yang yang sedang murung itu. Suasana kelu. Linier dengan suasana hati pria yang bertubuh hitam legam karena sengatan matahari yang menyayat kulit. Hingga suasana itu pecah karena suara yang tidak ia sadari menghujam begitu deras.

"heh, bangun malas", teriak mandor Djamingin.

Dengan sigap Zaidi berdiri. Dia tergogop-gopoh melanjutkan pekerjaannya tadi yang sempat tertunda. Kembali mengambil adukan semen yang sempat dia diamkan tadi. Digenggamnya erat-erat gagang ember. Diantarkannya ke temen yang lain, tukang yang sedari tadi telah menunggu.

"hei bocah kalo mau dapet duit kerja yang becus, gak usah bengong mulu"

Zaidi membisu.

Tak ditimpali hujan kata-kata yang keluar dari sang mandor. Karena ia tahu akan fatal akibatnya. Dia hanya bisa bergumam dalam hati. Menyimpan gumamnya dalam hati. Hal ini harus ia lakukan. Demi mendapatkan upah yang tak seberapa. Demi menyambung hidupnya. Menyambung hidup adik-adiknya. Bahkan dengan peluh darah pun akan dia lakukan. Dia masih ingat betul kejadian kemaren sore itu. Saat itu dia didatangi Giyono, adek laki-lakinya yang masih duduk di bangku kelas satu SD. Ditemangi Hartiningrum, adek bungsunya, yang masih bergelayut di gendongan. Tampak isak tangis dari adek-adeknya Zaidi iba. Saat itu mereka lagi butuh uang. Demi menyabung hidup. Membayar uang SPP. dan kebutuhan pokok lainnya.

Zaidi berada pada posisi sulit. Upahnya baru dibayarkan seminggu lagi. Padalah baru beberapa hari adek-adeknya merajuk. Minta dibelikan buku. Tak tega melihat raut wajah mereka yang dibalut pilu itu diberanikan niatnya untuk pinjam uang kepada sang mandor. Sumpah serapah sempat mendarat dari mulut sang mandor. Walau akhirnya sedikit rasa tak tega dirogohnya lembaran uang dari sakunya.

"saya nge-bon dulu pak, bayaran minggu depan saya ambil sekarang"

"awas kalo dengan ini kau jadi malas-malasan"

"iya pak, disuruh lembur pun aku mau, asal beri saya uang. Ini demi keluargaku"

Giyono girang bukan kepalang. Meloncatlah dia hingga menyudul atap kayu di atasnya. Benjol dan memar kepalanya. Sedikit mengaduh. Tapi menjadi tak berasa karena hajatnya telah kesampaian. Ibunya Zaidi pun senang. Tampak senyum yang merekah. Simpul-simpul durja kini telah terurai dari wajah mereka. Lalu mereka pun pamit. Berjalan menjauhi Zaidi. Semakin jauh. Tampak langkah Giyono lebih ringan. Lalu mereka lenyap dari pandangan. Menjadi setitik debu.

Zaidi tahu. Uang yang digengamnya kini tak banyak. Cukup untuk beberapa hari saja. Dia tak tahu harus berbuat apa nanti. Mungkin dia akan puasa daud. Biar cukup uangnya untuk sepekan ke depan. Beginilah hari-harinya. Selepas dua bulan kematian ayahnya. Sesekali ia mengingat-ingat wajah ayahnya. Ia ingat petuah-petuahnya. Ia gengam kata itu dengan erat. Dia balut luka-lukanya akibat goresan kerikil dan batu. Dijadikan kisah saat hendak tidur atau saat dia tepekur diam. Dipanjatkannya doa tinggi-tinggi dalam tiap malamnya. Tiap sepertiga malam nan sejuk, pilu. Hingga kering air matanya bercucuran. Makin hening dengan lantunan bunyi Kalam Illahi yang menderu-deru. Menyusup tiap jengkal tanah di sekeliling bangunan, pohon, ranting-ranting hingga saling berkejaran dengan suara jangkrik yang menggebu-gebu.

****

Akhirnya jam lembur selesei juga. Pukul 22.00 waktu setempat. Alat-alat tukang dibasuh dan ditata rapi berjajar ditempatnya masing-masing. Setelah semua beres, masing-masing merebahkan punggung di bedeng sempit di area proyek. Tampak mereka saling berdesak-desakkan. Tak muat bedeng sekecil itu untuk menampung puluhan kuli. Alhasil ada yang selonjor di pelataran. Di bawah atap langit bermandikan bintang. Di dekat tumpukan kayu yang dinginnya menyayat seperti sembilu. Dan berbagai tempat yang sekiranya strategis untuk berteduh.

Semua kuli langsung merebahkan badan. Memejamkan mata karena penat dan letih telah menggelayut sedari tadi. Mengukir mimpi. Menyeberanginya hingga ke lautan ke tujuh. Tapi kecuali Zaidi yang saat itu masih terbelalak matanya. Entah karena apa dia masih belum juga tidur. Mungkin karena kejadian tempo hari yang masih membuatnya sulit untuk mengatupkan kedua mata.

Sambil menata letak gugusan bintang. Diacungkan lengan kanannya kuat-kuat ke atas. Digerak-gerakkanya hingga mungkin membentuk rasi bintang baru. Menjejali daftar rasi bintang terdahulu. Ada rasi bintang Biduk, bintang Pari, bintang Scorpion dan rupa-rupa jenis bintang. Dihitungnya satu-satu sambil komat-kamit mulutnya merapalkan kata-kata yang entah dihiriraukan temanya atau tidak. Satu, dua, tiga dan seterusnya. Lalu terpejamlah kedua matanya setelah sesaat sebelum menggumamkan doa, lirih. Suasana kembali hening. Hanya bunyi jangkrik dan hewan-hewan sawah yang bertalu-talu. Saling bersahut-sahutan. Mimpi, mimpi indahlah malam itu. Malam penuh nanar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar