Mengenai Saya

Senin, 21 Februari 2011

ZAidi 3

Wajah Zaidi muram temaram. Tengkuknya ditekuk rapat-rapat. Tubuhnya menggigil kedinginan. Sekujur tubuhnya ngilu. Terasa putus persendian. Suhu tubuhnya membubung tinggi ke angkasa. Panas bak air mendidih yang sedah direbus.

“Kamu sakit Di?” Wajah Zaidi memucat pasi.
“Saya belikan obat ya” sergah teman proyeknya. Lalu temannya itu, Parjan, dengan sigap dan tanggap beranjak dari tempat duduknya. Berjalan melewati kayu-kayu yang menumpuk pengap dan keluar mencari warung yang sekiranya jualan obat panas.

Badan Zaidi makin payah. Kini dia makin menggelinjang hebat. Kain-kain tebal ia sumpalkan disekujur tubuhnya. Berusaha membikin tubuhnya sehangat mungkin. Seandainya masuk kompor pun bias meredakan suasana pastilah akan ia lakukan.

“Tenang. Tenang kawan. Obat segera datang. Minum dua pasti langsuang reda.” Tambah Bejo yang sudah panic. Dadanya memantul-mantul. Air keringat bercucuran. Takut kawannya kenapa-kenapa.

“Jo, antarkan aku pulang,” Gumam Zaidi lirih hingga menambah getir suasana. “Mungkin aku akan sembuh jika pulang Jo. Tadi malam aku mimpi ketemu bapak Jo. Katanya dia mau mengajakku pergi naik dokar.” Zaidi tampak setengah sadar waktu melantunkan kata-katanya tadi. Bejo makin panic bukan kepalang. Dia tak bias berpikir jernih lagi. Dipapahnya tubuh kurus temannya itu. Hendak dia antarkan ke rumah. Lalu seketika itu juga datang Parjan yang sudah menggenggam sebungkus plastic berisi obat penurun panas. Karena tidak etis menyebutkan merk, maka tidak aku tulis di sini kawan.

“Eit..eit..eit..mau dibawa ke mana?”
“mau tak bawa ke rumahnya Jan”
“Loh-loh, mbok ya dikasih minum obat dulu toh Jo. Ini makanan jug awes tak tukokke (tak beliin)”
“Abis kamunya suwi tenan tuku obate, tukune neng Jakarta tah?” Tanya Bejo sedikit ketus.
“Lah dapur mu kuwi, aku tuku obate adoh Jo”, sedikit menyalahkan Bejo yang Cuma bias panic itu.
“Wes lah ndang cepet. Buruan kita kasih minum obat”

Dengan cekatan mereka memberi minum obat. Sebelumnya menyuapi Zaidi yang sudah tak berdaya lagi menggerakan tangan karena sakit panas akut. Tubuhnya yang remuk redam tak ubahnya batang kayu yang kaku-kaku. Sangat memprihatinkan kondisinya itu. Anak sekecil ini harus sudah menanggung beban yang sangat amat. Ini semua terjadi karena Zaidi sering puasa. Selain karena minimnya upah yang tersisa untuk hanya sekedar menganjal perut kerempengnya itu, Zaidi memang ingin berazzam puasa Daud. Sungguh pilihan amat sulit.

Setelah obat diminum, panas di tubuh Zaidi tak kunjung reda. Jika kawan memasukkan thermometer raksa, yang sering ditenteng para dokter, maka engkau akan tercekat. 40 derajat Celcius. Saya ulangi lagi. 40. Karena mereka berdua habis akal, mereka lapor kepada sang mandor.

“Pak, pak, pak” Bejo menata sikap bicaranaya, nafasnya tersengal-sengal. “Zaidi pak, Zaidi sakit. Badannya menggigil hebat.” Dan seketika itu juga pak mandor bernajak dari kursi malasnya dan mendapati ZAidi dalam kondisi memprihatinkan dia merasa iba.

“Cepat kita bawa ke mantra, cepat”
“iya pak, iya”

Sekonyong-konyong mereka memapah tubuh Zaidi. Mengantarkannya ke mantra Zuwari. Tergopoh-gopoh mereka memapah. Buka Karen atidak kuat tapi karena panic bercampur takut.

*tunggu kisah selanjutnya*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar