Mengenai Saya

Sabtu, 19 Februari 2011

Nina dan sahabat dolphin

Pagi itu hari masih cerah. Matahari masih belum terik. Nina, gadis kecil yang bertubuh mungil, tampak gusar sekali. Ia tahu kalau hari masih pagi buta. Tapi ia sudah tidak sabar ingin diajak oleh ayahnya, Mulyadi, pergi ke pasar malam. Kegiatan yang paling ia gemari adalah naik komedi putar, beli balon, dan beli gulali. Nina berharap hari segera petang. Matahari beranjak dari garis edarnya. Berganti dengan malam yang penuh bintang.



Hari itu, ayah Nina tahu kalau hari itu adalah hari yang paling berbahagia bagi putrinya. Dia tahu betul apa yang harus dilakukan untuk menyenangkan hati belahan jiwanya. Mengajak Nina ke pasar malam sudah sperti ritual wajib.



"putri ku, usahlah kau gudar, ayah pasti akan membelikanmu hadiah yang bagus nanti malam", ayah Nina berusaha menenangkan putrinya.

"benar ayah?", senyum tersungging dari bibir Nina.

Ayah Nina tersenyum.

"Jadi kita nanti beli balon kan yah, trus naik komedi putar, trus beli gulali, trus...", tampak secarik kertas berisi catatan semacam daftar belanjaan dikeluarkan Nina dari sakunya.

"Iya, tapi ayah berangkat dulu ya, hari sudah siang", sambil mengecup kening Nina lalu mengambil sepeda, berangkat.



Nina melambaikan tangan kepada ayahnya. Tampak girang sekali dia. Senyum-senyum sendiri. Sesekali menari-nari, tanda hilang segala gundah. Dilipatnya lagi secarik kertas tadi. Lalu dimasukkan ke saku bajunya. Dijaga jangan sampai catatan itu hilang.



@@@@@



Sepulang dari tempat kerja, Mulyadi sempat mampir di toko boneka. Melihat-lihat sebentar. Memilah-milah. Lalu membeli boneka dolphin warna biru. Gumamnya dalam hati, 'pasti Nina suka dengan hadiah ini. Dia kan sudah lama ingin punya boneka'.



Kemudian Mulyadi segera beranjak pergi. Menyusuri jalan setapak menuju rumahnya yang sangat jauh itu. Mungkin sekitar lima kilometer ia harus mengayuh sepedanya. Sambil memunggumi senja yang saat itu masih lekat di pelupuk mata. Dikayuhnya sepeda itu cepat-cepat. Sudah hampir setengah perjalana. Dia melewati padang ilalang yang membentang di sebelah kiri. Jalanan datar, berpasir campur debu, sesekali menikung. Di sebelah kanan tampak rumah jarang-jarang. Sedikit sekali dijumpai pohon rindang, hanya untuk sekedar berteduh.



Sejenak dia menyeka peluh yang sempat bercucuran. Diseka dengan sapu tangan. Lalu dikayuhnya lagi sepeda kencang-kencang. Mentari makin memucat. Pucat pasi. Makin redup seiring pandangan Mulyadi. Dan lalu tiba-tiba pandangan gelap gulita.



@@@@@



Hari sudah sangat petang. Oang yang dinanti-nati tak kunjung tiba. Nina tampak gelisah sangat. Dilihatnya jam dinding yang sedari tadi berdetak kencang.



"sebentar lagi ayahmu pulang, tengalah anakku"

"tapi bu, sudah jam segini tapi belum juga pulang"

"pasti ayahmu sedang lembur"

Sebelum perbincangan berlanjut. Ambulance datang. Bunyi sirine mendesir kencang. Memecah kesunyian petang itu. Nina dan ibunya tampak tegang campur was-was. Muncul perasaan tidak enak seketika itu juga.



Ambulance berhenti tepat di depan rumah Nina. Lalu, keluarlah seseorang berbaju putih menghampiri kediamannya.

"benarkah ini rumah bapak Mulyadi?', tanya orang itu.

"benar, ada apa memangnya?", sahut ibu Nina.

"maaf ibu, dengan berat hati saya harus mengatakan...", orang itu menelan ludah.

Nina diam terpaku. Ibunya mendengarkan seksama.

"ceritanya begini. Tadi ada sewaktu saya mengendarai mobil ada tubuh orang tergelepar di pinggir jalan. Ku hentikan mobil. Lalu aku angkat beliau. Tampak wajah lelaki yang tak lain adalah pak Mulyadi telah telah terbujur kaku. Saya minta orang lain yang lewat untuk mengangkat. Saya coba hubungi rumah sakit terdekat. Kami melaju kencang ke RSU. Tapi nyawa beliau sudah tak tertolong. Beliau kena serangan jantung mendadak..."

Nina masih terpaku. Mata ibunya telah berkaca-kaca.

"lalu saya berinisiatif mengantarkannya ke sini"

"Nina, ayahmu...", sambil berlari menuju ambulance.

Nina pun masih tak habis pikir.

"sabar ya bu, semoga ibu dan keluarga tabah", hibur orang tadi.



Setelah melihat jasad ayah yang tebujur kaku, Nina baru sadar. Kini, ayahnya telah tiada. Kenangan tentang pasar malam, komedi putar, naik sepeda bresama ayahnya berputar-putar di kepala. Membelenggu alam bawah sadarnya. Kini, hari yang semestinya jadi hari paling bahagia baginya berubah jadi hari paling pilu. Air mata tak dapat dibendung. Menggenangi sekujur pipi tembemnya. Senyum yang merekah tadi kini memudar seiring berita buruk yang dia hadapi di depan matanya.



@@@@



Sejak saat itu Nina jadi murung. Wajahnya muram. tak ceria seperti biasanya. Dia sering memeluk boneka dolphin, hadiah dari sang ayah. Boneka yang masih dipegang ayahnya erat sewaktu jatuh terkulai di pinggir jalan tempo lalu. Wajahnya yang cerah kini dibalut duka. Kata-kata tentang komedi putar masih melayang-layang.

"sudah lah cah ayu, kalau kamu sedih terus, ayahmu takan menyenangi hal ini", sambil menepuk pundak Nina, kakeknya berusaha menghiburnya.

"ayahmu pasti tenang di sana, di tempat yang paling mulia di sisi-Nya"

Nina masih membisu.

"Sekarang, kamu ganti baju, kita akan pergi ke pasara malam"

Nina beranjak dari duduknya.

"Benarkah itu kek?"

"iya benar, asal kamu tak boleh sedih lagi"

Secepat kilat Nina pergi ke kamar untuk ganti baju, memakai pakaian terbaiknya.

"kata ayah, aku tak boleh sedih, 'jika bersedih ayah takan mengajakku lagi naik komedi putar', begitulah kek"

Mereka lalu mengayuh sepeda menyusuri jalan terjal. Sedikit berliku. Melewati rumah-rumah tetangga.

"ayah..."

"iya anak ku"

"kau kembali?, jangan lupa belikan aku balon ya yah"

Bayang-bayang ayahnya muncul di hadapan Nina. Ia tidak tahu kalau itu kakenya. Mungkin karena saking senangnya ia lupa. Seketika itu juga ia kembali sadar. Itu hanya khayalannya saja.

Begitulah. Ketika mendengar kata-kata tentang komedi putar atau pasar malam, Nina sering bisa melihat wajah ayahnya, walau sekelebat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar